Sabtu, 23 November 2013






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Selaras dengan arah kebijakan pembangunan dibidang hukum yang antara lain menyeimbangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional dimana hal tersebut ditandai dengan perkembangan  disegala bidang.
Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 mengarah pada krisis yang sifatnya multi dimensional yang berimplikasi pada munculnya kesadaran akan pembaharuan dan  pentingnya keterbukaan dan pemberdayaan. Dalam periode itu munculah gerakan reformasi di Indonesia, dimana buah dari gerakan tersebut adalah tumbangnya rejim orde baru.
Dalam periode reformasi pasca jatuhnya rejim orde baru salah satu issue sentral yang berkembang adalah pentingnya otonomi daerah yang lebih memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sesuai dengan sumber-sumber daya yang dimiliki daerah tersebut. Issue otonomi daerah ini muncul akibat adanya kebijakan pemerintah pusat yang tidak proporsional baik dalam hal kewenangan yang diberikan kepada daerah maupun pembagian hasil pendapatan daerah yang lebih banyak ke pusat. Keinginan masing–masing daerah untuk mewujudkan otonomi yang lebih memberikan kebebasan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri terakomodir dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor: 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Otonomi daerah tersebut menimbulkan dua konsekuensi logis yaitu disatu sisi menimbulkan kebebasan daerah untuk mengatur rumah tangga daerahnya dengan sumber-sumber daya yang dimiliki dan disisi lain daerah dituntut untuk semakin memaksimalkan sumber–sumber pendapatan daerah guna membiayai pembangunan daerah sebagai akibat dari subsidi pemerintah pusat yang telah berkurang.
Kebijakan Otonomi daerah lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan keutuhan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, ternyata dalam perjalanannya mengalami distorsi pemahaman yang sangat memprihatinkan. Distorsi itu bukan hanya maelanda masyarakat awam yang memang belum berkesempatan menyerap informasi yang lengkap tentang kebijakan ini, tetapi bahkan melanda pula kalangan top elit pemerintahan kita dtingkat pusat. Kondisi ironis ini jelas mengaburkan semua harapan kita tentang masa depan kehidupan masyarakat yang nasibnya sangat dipengaruhi oleh pelayanan pemerintahan.[1]
Implikasi langsung fungsi yang diserahkan daerah sesuai dengan UU No 22 tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk membiayai tugas yang menjadi tangging jawabnya tersebut, kepada daerah diberikan sumber-sumber  pembiayaan, baik melalui pemberian kewenangan dalam pemungutan pajak/retribusi, sistem transfer, dan pemberian kewenangan untuk pinjaman. Sistem pembiayaan tersebu merupakan langkah maju bila dibandingkan dengan pengaturan-pengaturan yang selama ini berlaku. Dengan kebijaksanaan tersebut sistem pembiayaan daerah sangat jelas.
Dalam hal ini, Kepada Daerah telah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 18 tahun 1997 dan telah disempurnakan dengan Undang-undang No 34 tahun 2000 yang lebih mencerminkan kelekuasaan kepada daerah. Dengan UU No 34 tahun 2000 tersebut yang ditindak lanjuti aturan pelaksananya dengan PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, dan PP No 66 tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, Kabupaten/Kota diberikan kewenangan untuk memungut pajak selain ditetapkan dalam UU yang tentunya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Demikian juga dengan propinsi juga diberikan kewenangan untuk memungut retribusi selain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang.[2]
Dalam kaitanya dengan otonomi daerah tersebut,  Kabupaten Sidoarjo sebagai salah satu daerah kabupaten/ kota yang minim sumber daya alam maka implikasi yang muncul atas lahirnya kedua undang-undang tersebut adalah menggali secara maksimal sumber-sumber pendapatanya, dimana salah satunya dengan memak simalkan potensi pajak daerah, retribusi daerah sebagai sumber kontributor bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sidoarjo.
Dasar hukum yang dipakai oleh daerah kabupaten/ Kota Sidoarjo berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyangkut retribusi daerah adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah  pasal 79 butir a terdiri dari :
1)      Hasil pajak daerah
2)      Hasil retribusi daerah
3)      Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
4)      Lain-lain pendapatan asli daerah.[3]
Di masa otonomi daerah tersebut PAD dianggap sebagai sebuah sektor pendapatan daerah yang sangat strategis karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan daerah kabupaten/ kota untuk pembiyayaan pembangunan daerahnya, sehingga dalam konteks tersebut peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi daerah kabupaten/ kota semakin ditingkatkan kuantitas pendapatanya. Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/ kota salah satunya dari sektor retribusi daerah.
Dengan adanya Undang-undang No 22 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah, Maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencoba mengimplementasikan dengan membuat kebijakan parkir berlangganan yang mengacu pada perda No 1 tahun 2006 yang diperbarui menjadi perda no 2 tahun 2012 tentang retribusi parkir. Berawal dari keprihatinan Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo dalam melihat kondisi perparkiran yang kurang terkendali, dengan adanya ”preman parkir” yang memungut setoran kepada juru parkir, maka Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mengeluarkan Peraturan Daerah (perda) nomor 1 tahun 2006  tentang Retribusi Parkir. Kebijakan ini dibuat bertujuan untuk mengendalikan dan melancarkan serta memberantas jaringan-jaringan preman parkir yang seringkali meresahkan masyarakat, sehingga bisa tertib dan terkendali. Selain itu perda tersebut bertuj uan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah. Akan tetapi, setelah enam tahun berjalan perda no 1 tahun 2006 tentang Retribusi Parkir mengalami banyak kendala dilapangan sehingga pemerintah kabupaten melakukan perubahan perda terebut menjadi perda No 2 tahun 2012 tentang  Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo.
Dari perubahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah mengenai perda No 2 tahun 2012 sampai saat ini masih menemui kendala dilapangan. Secara umum sering kali masyarakat yang dalam hal ini disebut sebagai konsumen dirugikan dengan adanya kebijakan ini, pada penerapakan kebijakan tersebut banyak terjadi pelanggaran hak-hak konsumen, diantaranya, hak-hak individual konsumen retibusi parkir belangganan, contohnya masih ada oknum petugas parkir yang masih memungut/menerima uang parkir pada suatu obyek parkir yang telah ditentukan pemerintah kabupaten dari konsumen dalam hal ini masyarakat, dimana masyarakat telah dibeani biaya parkir berlangganan tiap tahun dan dibayarkan pada saat kita mengurus pajak atau perpanjangan STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) sebesar Rp 25.000,- untuk Motor, sedangkan Rp.50.000.- untuk Mobil. Dan apabila wajib pajak kendaraan berada di luar kota Sidoarjo, apakah menguntungkan bagi masyarakat yang mengalami hal ini?.
Dengan demikian maka kebijakan tersebut harus didukung dengan fakta-fakta yang ada dan relavan dalam masyarakat. Adanya pernyataan tersebut apabila tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk kebijakan yang menyesatkan. Dalam hal ini penyebab kerugian yang diderita oleh konsumen parkir berlangganan adalah pemkab sebagai pihak penyedia jasa yang melakukan kebijakannya dengan menerapkan parkir berlangganan. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi adalah kebijakan pemkab yang memberlakukan parkir berlangganan, dimana kebijakan yang dibuat dalam perda No 2 tahun 2012 tersebut ternyata tidak sesuai dengan jasa yang diharapkan dan terkesan adanya unsur pemaksaan dalam pemungutan retribusi. Hal ini menjadi penyebab kerugian yang di derita konsumen yang kebanyakan berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Di samping itu pula akan dijelaskan mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen dalam menuntut hak-haknya.
Dalam pelayanan umum (public services), masyarakat konsumen pasti sudah sering kena pungutan, seperti sumbangan, kupon, retribusi, dan seterusnya.Instansi yang memerlukan dana tampaknya mengetahui mudah memenuhi targetnya bila dititipkan pada pelayanan publik/umum. Apalagi pelayanan umum itu sendiri masih punya banyak masalah terutama menyangkut pelayanan produk jasa yang diberikan kepada konsumen.[4] Dari hal tersebut diatas bahwa sangat jelas sekali masyarakat terbebani dengan biaya retribusi yang tidak mengedepankan kepuasaan pelanggan.
Di Indonesia sendiri telah diberlakukan peraturan perundang-undangan yang akan memberikan perlindungan terhadap konsumen dalam memanfaatkan atau memakai produk dari produsen. Peraturan perundang-undangan yang di maksud adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya di singkat dengan UU No. 8 Tahun 1999). Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan kewajiban-kewajiban kepada pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis akan mengupas lebih lanjut, ditinjau dari sudut pandang yuridis. Oleh karena itu untuk rnengkaji lebih dalam mengenai impelmentasi perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan parkir di Sidoarjo dan perlindungan hukum terhadap masyarakat dalam hal ini disebut sebagai konsumen pengguna jasa parkir belangganan, maka penulis akan mengajukannya sebagai bahan skripsi dengan judul : “Iplementasi Perda No 2 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Parkir Di Sidoarjo Dikaitkan Dengan Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”.
B.       Perumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan diatas, maka dapat dibuat perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Pelaksanaan Perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo ?
2.      Bagaimanakah upaya yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan pajak parkir di Sidoarjo ditinjau dari Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen?
C.    Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan penelitian, antara lain:
1)      Tujuan Umum
Tujuan penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk:
a)       Mengetahui tentang pelaksanaan perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo.
b)      Mengetahui tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan pajak parkir di Sidoarjo.
2)      Tujuan Khusus
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Bhayangkara Surabaya
D.      Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberiakn manfaat, baik yang bersifat teoritis maupun praktis:
1)      Secara Teoritis
a.       Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang studi di bidang hukum, khususnya hukum perdata dalam hal perlindungan konsumen.
b.      Penelitian ini diharapkan dapat sebagai acuan bahan dalam pembelajaran khususnya hukum yang bertujuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
2)      Secara Praktis
a.       Penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan bagi pembaca khususnya penelitian yang sejenis pada masa yang akan datang.
b.      Bagi pengambil keputusan, diharapkan penulisan ini dapat menambah wawasan dalam menyelesaikan kasus serupa.
E.     Kerangka Teori
1)      Perlindungan Konsumen
a.        Ruang Lingkup Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen secara harfiah memiliki arti, orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu, atau sesuatu atau sese orang yangmenggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Berdasarkan dari pengertian tersebut, yang dimaksud konsumen orang yang berststus sebagai pemakai barang dan jasa
Perlindungan Konsumen pada dasarnya merupakan bagian penting dalam ekonomi pasar (laissez faire). Di pasar bebas, para pelaku usaha menawarkan produk dan jasa dengan tujuan mencari keuntungan di satu sisi, berhadapan dengan para pembeli dan konsumen yang ingin memperoleh barang dan atau jasa yang murah dan aman di sisi lain. Tetapi di dalam pasar bebas, kedua pihak itu tidak memiliki kekuatan yang sama. Posisi pihak pelaku usaha jauh lebih kuat ketimbang para konsumen yang merupakan perorangan, karena penguasaan informasi tentang produk sepenuhnya ada pada produsen.
Makna Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni ;
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan kembangkan dunia usaha yang memproduksi barang dan/ jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Adapun yang dimaksud dengan konsumen menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) adalah ; “Setiap pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat lajunya ilmu pengetahuan umum dan teknologiyang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen merupakan suatu hal yang terpenting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya.
Dalam pelayanan umum (public services), masyarakat konsumen pasti sudah sering kena pungutan, seperti sumbangan, kupon, retribusi, dan seterusnya.Instansi yang memerlukan dana tampaknya mengetahui mudah memenuhi targetnya bila dititipkan pada pelayanan publik/umum. Apalagi pelayanan umum itu sendiri masih punya banyak masalah terutama menyangkut pelayanan produk jasa yang diberikan kepada konsumen.[5] Dari hal tersebut diatas bahwa sangat jelas sekali masyarakat terbebani dengan biaya retribusi yang tidak mengedepankan kepuasaan pelanggan.
b.        Asas-asas Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bias memberikan arahan dalam implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungankonsumen memiliki dasar pijakan yang benar- benar kuat. Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan Konsumen, antara lain:
a)        Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
b)      Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.



c)      Asas keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
d)      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e)      Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
c.       Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut:
a)      Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
b)      mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c)      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
d)     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e)      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f)       Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
d.      Hak dan Kewajiban Konsumen

A.    Hak-hak Konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
a)      Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
b)      Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
c)      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
d)     Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
e)      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f)       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g)      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
h)      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i)        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.

B.     Kewajiban Konsumen

Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
a)      Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b)      Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c)      Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d)     Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2)      Otonomi Daerah
Otonomi berasal dari dua kata : auto berarti sendiri, nomos berarti rumah tangga atau urusan pemerintahan. Otonomi dengan demikian berarti mengurus rumah tangga sendiri. Dengan mendampingkan kata otonomi dengan kata Daerah, maka istilah“mengurus rumah tangga sendiri” mengandung makna memperoleh kekuasaan dari pusat dan mengatur atau menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerah sendiri.
Dalam Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah pasal 1 huruf h dijelaskan :
“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.[6]
Otonomi daerah adalah salah satu bentuk nyata dari praktek demokrasi. Dalam tatanan masyarakat, demokrasi berbincang tentang kebebasan individu dan kelompok-kelompok didala masyarakat; sedangkan dalam tataran hubungan pusat-daerah, demokrasi menuntut adanya kebebasan daerah untuk mengatur dirinya sendiri (Otonomi Daerah). Dalam tatran masyarakat, kebebasan individu bisa dicapai disamping sebagai cara berjaga-jaga terhadap kemungkinan pelanggaran hak-hak dan kepentingan masyarakat oleh negara. Dalam tataran hubungan pusat-daerah mampu mengembangkan kemandirian dan hasil mencapai kemajuan disegala bidang sesuai dengan pandangan dan kebutuhan masyarakatnya. Tentu saja semuanya itu dilakukan dalam konteks negara-negara bangsa Indonesia.[7] 
Tujuan utama dari dari kebujakan desentralisasi tahun 1999 itu adalah, disatu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaatnya dari padanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan mampu berkosentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis. Dilain pihak, dengan Desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan.[8]
Visi Otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dibidang ekonomi, otonomi daerah diastu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, dan dilain pihak terbukanya peluang pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk megoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Misalkan dengan kebijakan penarikan retribusi, pajak daerah dan intinya adalah pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagaimana telah diatur dalam UU No 22 tahun 1999.
Dalam Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah  pasal 79 butir a terdiri dari :
1.      Hasil pajak daerah
2.      Hasil retribusi daerah
3.      Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan,
4.      Lain-lain pendapatan asli daerah.

3)      Retribusi/Pajak Daerah
Pada tahun 1997, pemerintah akhirnya mengeluarkan Undang-undang No 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang betujuan antara lain:
1.        Menyederhanakan berbagai pengutan daerah dalam rangka mengurangi ekonomi biaya tinggi.
2.        Menyederhanakan sistem dan administrasi perpajakan dan retribusi daerah untuk memperkuat fondasi penerimaan daerah khususnya Dati II, dengan mengefektifkan jenis pajak dan retribusi tertentu yang potensial.
Penyederhanaan pajak daerah dan retribusi daerah dapat dilihat dari penyederhanaan jumlah pajak daerah dan retribusi daerah yang ada sebelum dan sesudah undang-undang saat ini.[9]
a)      Pajak Daerah
Pajak Daerah adalah iuran yang wajib dibayar oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.[10]


b)     Retribusi Daerah
Retribusi  Daerah adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa yang disediakan oleh pemerintah. Dan mempunyai beberapa objek,antara lain:
1.   Jasa umum
2.   Jasa Usaha
3.   Perizinan tertentu
Jasa yang diselenggarakan oleh badan usaha milik daerah bukan merupakan objek retribusi. Retribusi terbagi atas tiga golongan, sebagai berikut:
1.      Retribusi jasa umum
2.      Retribusi jasa usaha
3.      Retribusi perizinan.
F.     MetodePenelitian
1)      Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah suatu jenis penelitian yuridis empiris.Penyusunan skripsi ini menggunakan penelitian yuridis empiris yang mengacu pada penelitian hukum langsung di lapangan, dengan didasarkan pada wawancara, dan disertai perundang-undangan, literatur dari buku, internet, dan artikel.
2)      Pendekatan masalah
Dalam penulisan skripsi ini, saya menggunakan pendekatan social legal, social legal yaitu Pendekatan yang digunakan untuk memberikan gambaran secara kualitatif tentang pelaksanaan perda dalam realita di masyarakat/lapangan.
Pendekatan empiris dimaksudkan ialah sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat[11]. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah terjadinya penyimpangan dalam penerapan perda No 8 tahun 2008, dan cenderung merugikan masyarakat dalam hal ini disebut sebagai konsumen.
3)      Sumber Data hukum
Untuk menunjang penulisan skripsi ini, digunakan sumber-sumber bahan hukum, yaitu:
a.       Sumber Data Hukum Primer
Sumber Data Hukum  Primer adalah Bahan yang diperoleh langsung dari masyarakat melalui observasi /pengamatan, interview /wawancara, quisetioner /angket.[12]
Dalam bahan ini, saya selaku penulis skripsi melalukan wawancara langsung kepada Konsumen pengguna jasa Parkir berlangganan, petugas parkir, pemerintah kabupaten Sidoarjo Dalam hal ini di wakili oleh Dishub Sidoarjo
b.      Sumber Data Hukum Sekunder
Sumber Data Hukum Sekunder adalah data yang diperoleh melalui kepustakaan, dengan menelaah buku-buku literatur, Browsing di internet, brosur / tulisan yang ada kaitannya, sertaundang undang-undang yang terkait dengan masalah skripsi ini.
4)        Pengelolaan dan Analisa Bahan Hukum
Bahan yang telah diperoleh untuk penyusunan skripsi ini dan yang telah dipisah-pisahkan, akan diolah dan dianalisa menurut metode kualitatif dengan logika berfikir secara runtut untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang dijadikan titik pangkal penelitian, sehingga sapat diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.
G.    Sistematika Penulisan
Penulisan skrispi ini disusun dalam suatu sistematika yang terdiri dari empat bab yang merupakan suatu rangkaian yang saling berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan, yang antara lain memuat hal-hal sebagai berikut:
Bab I merupakan bab yang berisikan Bab Pendahuluan, dimana dalam bab ini berisikan tentang hal-hal yang mendasar dari penulisan skripsi ini, yakni  Latar Belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, yang memberikan kejelasan tentang kerangka kopsepsional dan kerangka teoritis.Kemudian metodde penilitian yang menjelaskan tentang cara penulis dalam menyusun penelitian ini berdasrkan jenis penelitian, tipe penelitian, pendekatan masalah, sumber/data  bahan hukum, pengolahan dan analisa bahan hukum, serta sistematika penulisan.
Bab II berisi tentang bagaimana pelaksanaan perda No 2 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo dikaitkan dengan hukum perlindungan konsumen, kinerja fungsional dalam menjalankan suatu kebijakan.
Bab III berisi tentang upaya yang ditempuh oleh pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan pajak parkir di Sidoarjo ditinjau dari Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Prinsip dalam penyelesaian sengketa, Penyelesaian sengketa di luar persidangan dan di dalam persidangan.
Bab IV merupakan penutup, yang berisi tentang kesimpulan dari jawaban dua permasalahan yang telah diuraikan atau dipaparkan dalam skripsi ini dan selanjutnya akan diberi saran yang berhubungan dengan kesimpulan yang diambil dan sedikit saran yang bertujuan untuk memajukan suatu daerah.




[1] Syamsuddin Haris, Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi &  Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, Jakarta: LIPI Pres, 2005, hal 23
[2] Ibid, hal  268
[3] Lihat Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, pasal 79.
[4] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal 189
[5] Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, hal 189
[6] Lihat UU RI No 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, pasal 1 huruf  h.
[7] Syamsuddin Haris , Op.Cit, hal  159.
[8] Ibid, hal  9
[9] Erly Suandy, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2011, Hal 225
[10] Ibid, hal 229
[11] Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia  Indonesia , Jakarta 1990, Hal .38.
[12]Ibid, , hal. 10.
 

BAB II
PELAKSANAAN PERDA NO 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PARKIR DI SIDOARJO
A.    Pelaksanaan Penyelenggaraan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo
Dengan Otonomi Daerah, terjadi pergeseran peran pelaku perekonomian nasional, meskipun pada intinya tetap bertumpu pada; pemerintah, swasta, dan koperasi. Pemerintah Daerah menjadi pelaku utama dalam perekonomian, karena dia dituntut mampu menggali dan mencari dana bagi pembiayaan pembangunan sendiri.[13]
Pemerintah Daerah dituntut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dengan memanfaatkan peluang yang ada; baik itu dari sumber sendiri (daerah), nasional, serta internasional. Sebaliknya setiap peristiwa ataupun kejadian di dunia internasional dapat berdampak langsung kepada penyelenggaraan di daerah, hal tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan. Dalam kerangka pembanguna ekonomi seperti itulah peran ekonomi Pemerintah Daerah diletakkan.[14]
Dalam Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 6 menyebutkan bahwa PAD bersumber dari :
a.       Pajak Daerah
b.      Retribusi Daerah
c.       Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
d.      Lain-lain PAD yang sah.[15]
Sehubungan dengan peran pemerintah sebagai pelaku ekonomi utama di daerah, maka pemkab Sidoarjo mencoba menerapkan pada pelaksanaan parkir berlangganan yang berusaha meningkatkan PAD dengan mewajibkan pemilik kendaraan yang berplat Sidoarjo membayar retribusi parkir. Pada awalnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo memangdang bahwa sektor parkir memiliki potensi menjadi sumber dana yang bagus apabila dikelola sendiri oleh pemerintah sehingga terdapat dua keuntungan yang dapat dirasakan sekaligus, yakni pendapatan bagi Kabupaten Sidoarjo yang meningkat serta penataan parkir yang lebih rapi. Pada awal tahun 2006  Pemkab Sidoarjo mengundangkan Perda No 1 tahun 2006 tentang retribusi parkir dan mengalami perubahan yaitu Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan parkir sebagai landasan hukum untuk menetapkan besarnya retribusi dan pelaksanaannya dilapangan. Perumusan Perda Nomor 1 Tahun 2006 ini sempat ditentang oleh juru parkir yang bertugas di wilayah Sidoarjo karena akan mematikan pekerjaan mereka, paling tidak penghasilan mereka akan berkurang daripada saat pelaksanaan parkir non-berlangganan.
Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Kebijakan publik dapat dipahami sebagai sarana untuk perebutan sumber-sumber kekuasaan (politik, ekonomi serta berbagai sumber lainnya yang bisa diperebutkan dalam perumusan kebijakan). Kebijakan pembayaran retribusi parkir secara berlangganan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo merupakan sarana perebutan sumber-sumber kekuasaan tersebut antar masing-masing stakeholder. Stakeholder yang terkait dalam parkir berlangganan antara lain adalah:
a)      Pemkab Sidoarjo
Pemkab Sidoarjo sebagai Lembaga pembuat kebijakan dalam hal perkir berlangganan dan mengesahkan Perda tentang Parkir, yang bertujuan untuk mendapatkan PAD.
b)     DPRD Kabupaten Sidoarjo
DPRD Sidoarjo sebagai lembaga pembuat Peraturan Daerah untuk dijadikan landasan hukum / payung hukum untuk menjalankan kebijakan yang dibuat oleh pemkab.
c)      Dinas Perhubungan
Lembaga ini bertugas sebagai pelaksana dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Parkir berlangganan serta melakukan pengawasan terhadap jukir yang nakal atau curang, serta berwenang untuk menindak setiap pelanggaran yang ada, dan dishub membuat karcis parkir untuk digunakan kepentingan parkir .
d)     Masyarakat Sidoarjo
Masyarakat Sebagai penguna jasa atau yang menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Pemkab, serta memenuhi kewajiban yang timbul akibat kebijakan tersebut, sebagai contoh membayar retribusi parkir setiap tahun bagi pemilik kendaraan ber nopol Sidoarjo.
e)       Juru parkir kawasan parkir berlangganan.
Petugas yang ditugaskan oleh perda melalui dishub yang bertugas untuk menjaga dan mengatur parkir yang ada di Sidoarjo.
f)         Samsat Sidoarjo
       Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai tempat pembayaran retribusi parkir berlangganan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.
g)        Polres Sidoarjo
       Lembaga yang bertugas menindak, menyelidiki, menyidik apabila terjadi pelangaran terhadap perda parkir berlangganan.
h)       Dispenda
       Instanti yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai pengelola hasil dari penarikan retribusi parkir berlangganan. Serta melaporkan kepada Pemkab Sidoarjo hasil dari retribusi yang dipungut dari masyarakat.
Perumusan kebijakan publik merupakan proses politik dimana dalam proses tersebut terdapat kepentingan masing-masing stakeholder yang harus diamankan sehingga terdapat interaksi kepentingan antar stakeholder yang terlibat sehingga pada hasil perumusan nanti akan ada pihak/stakeholder yang dikompromi kepentingannya sehingga akhirnya tidak puas dalam arti lain ialah siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Dari pengamatan yang telah dilakukan selama penelitian ini berlangsung, implementasi kebijakan retribusi berlangganan di Kabupaten Sidoarjo dirasa belum mencapai hasil yang maksimal. Ditandai dengan pemasukan kas daerah (parkir berlangganan) yang belum memenuhi target, Sangat ironis, Jumlah kendaraan di Sidoarjo terus bertambah dari tahun ke tahun. Namun Dishub malah menurunkan target pendapatannya tahun depan. Salah satu alasannya, target tahun ini tidak tercapai. Berdasar data yang dihimpun Jawa pos, tahun 2013 dishub menargetkan pendapatan retribusi dari parkir berlangganan sebesar Rp.22.267.596.300. padahal target tahun 2012 sebesar 22.964.220.000.
Kendaraan yang berlangganan di Sidoarjo tahun 2012 berjumlah 826.220 unit, terdiri atas kendaraan roda dua, roda empat,san roda enam atau lebih. Jumlah tersebut mencerminkan seluruh kendaraan bermotor yang beroperasi  di Sidoarjo. Sebab, seluruh kendaraan tersebut memang diwajibkan mengikuti progam parkir berlangganan. Pembayarannya dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan bermotor.[16]
Kadishub Sidoarjo berdalih, penurunan target itu beralasan. Perhitungan target retribusi selama ini tidak memprediksi tidak memprediksi jumlah kendaraan yang dibayar pajaknya, akibatnya tahun 2012 dishub hanya mampu memenuhi target retribusi sebesar 90 persen.[17]
Berikut Statistik parkir berlanggan:
JENIS KENDARAAN
JUMLAH
TARIF PERTAHUN
Roda Dua
716.345
Rp. 25 ribu
Roda Empat
 85.212
Rp. 50 ribu
Roda Enam
 24.663
Rp. 60 ribu
Target retribusi 2012         : Rp. 22.964.220.000
Realisasi                            : Rp. 20.754.231.000
Tak tercapai                      : Rp.   2.209.989.000
Target tahun 2013            : Rp. 22.267.596.300
    Sumber data: koran Jawapos melalui dishub Sidoarjo
 Pada tahun 2013 Dishub memprediksi ada 12-14 persen kendaraan di Sidoarjo yang tidak membayar pajak. Jika tidak membayar pajak, otomatis parkir kendaaraan tersebut tidak dibayarkan. Potensi pendapatan dari parkir berlangganan tersebut menyumbang 26 persen dari total pendapatan retribusi yang menjadi bagian dari pendapatan asli daerah (PAD) Sidoarjo. Adapun hasil dari retribusi tersebut dibagi lagi kepada beberapa stakeholder, antara lain:
                     a.            Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mendapatkan 82% dari Retribusi parkir .
                    b.            Polres Sidoarjo mendapatkan 5% dari Retribusi parkir.
                     c.            Propinsi Jawa Timur Mendapatkan 13% dari Retribusi parkir.
 Meski demikian dishub bakal tetap mempertahankan sistem parkir berlangganan. Fakta banyaknya jukir yang masih meminta uang tidak ditampik. M. Husni Thamrin selaku Kadishub  hanya berjanji untuk berupaya lebih tegas dalam pengawasan para jukir tersebut. Senada dengan Husni, wakil UPT Parkir Dishub Sidoarjo M. Jaelani mengakui bahwa masih ada jukir yang nakal, “ kami masih berbenah dan berupaya semaksimal mungkin untuk membina para jukir”, ujarnya.[18]
Presentasi jukir nakal memang cukup besar. Dishub memperkirakan, perbandingan antara jukir baik dengan jukir nakal adalah 70:30. Artinya diantara 530 jukir, 159 orang suka meminta uang parkir. Jumlah itu tergolong besar karena lokasi parkir berlangganan di Sidoarjo berjumlah 279 titik. Abu Dardak menerangkan bakal menerapkan sanksi tegas bagi jukir nakal.”Jika menemui jukir nakal, kami akan langsung memanggil dan memberi peringatan. Jika mereka mengulangi lagi, tentu kami putus hubungan kerjanya”, tegasnya.[19]
Selain problem PAD, sosialisasi yang tidak merata sehingga pada pelaksanaannya di lapangan masih ditemui banyak sekali kecurangan. Selain itu, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 sendiri belum banyak mengatur tentang hak-hak maupun kewajiban yang seharusnya dijalankan para aktor pembuat kebijakan dan pelaksana. Terhenti dengan kewajiban bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan fasilitas parkir berlangganan serta jukir yang tetap harus menjalankan tugasnya tanpa ada pungutan liar. Inilah yang membuat kebijakan ini seolah-olah pincang karena hukum-hukum perlindungan bagi kedua belah pihak pun belum jelas. Ada beberapa aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan retribusi parkir berlangganan. Akan tetapi, aktor yang paling utama dalam pelaksanaan kebijakan retribusi parkir berlangganan yaitu Bupati Sidoarjo. Kemudian adanya dukungan dari beberapa aktor lainnya dalam pembuatan kebijakan ini, yaitu Dispenda tingkat I Jawa timur, Gubernur, serta persetujuan dari pihak kepolisian Jawa Timur dan Kabupaten. Pada kenyataannya pelaksanaan kebijakan retribusi parkir berlangganan selama di lapangan tidak berjalan secara efektif dan optimal.
B.       Faktor-faktor penghambat pelaksanaan parkir berlangganan
Dalam pelaksanaan suatu kebijakan yang dibuat pemerintah kabupaten Sidoarjo pasti tidak lepas dari permasalahan. Dari permasalahan tersebut terjadi karean adanya beberapa faktor. Adapun faktor penghambat pelaksanaan parkir berlangganan diantaranya:
a)    Kenakalan para jukir yang memberi pungutan liar kepada pengguna retribusi parkir berlangganan,
b)   Lemahnya pengawasan terhadap jukir, karena petugas pengawas terbatas
c)    Adanya ancaman dari jukir yang mau ditindak tegas oleh petugas Dishub.
d)   Gaji  pengawas yang kecil, yaitu sebesar Rp.1.000.000.-/Bulan.
e)    Kurangnya pro aktif dan antusias dari masyarakat pengguna parkir berlangganan untuk lebih taat kepada peraturan yang sudah tertulis tentang pelaksanaan retribusi parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo,
f)    Sedikitnya lahan parkir yang disediakan oleh Pemkab Sidoarjo, yang tidak menjangkau pada daerah plosok atau perbatasan.
g)   Tidak disebutkannya perlindungan hukum dan hak yang tertulis di dalam Peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 untuk masyarakat.
Sehingga kenyataannya, peraturan Daerah nomor 2 tahun 2012 yang mengatur tentang Penyelenggaran parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo belum berjalan secara efektif dan optimal selama pelaksanaannya di lapangan. Diharapkan kedepannya, masing-masing pihak dapat saling memahami peranan dan tugasnya masing. Bagaimana aktor-aktor pembuat kebijakan bisa membenahi kebijakan-kebijakan yang telah ada, dan sebagai pelaksana di lapangan jukir dan masyarakat dapat mendukung kebijakan tersebut dengan mentaati peraturan yang telah ditetapkan.
Selain Faktor Penghambat pelaksanaan parkir berlangganan, adapula permasalahan berhubungan dengan keluhan dari Stakeholder yang terlibat dalam pelaksanaan parkir berlangganan, antara lain :
                  a.            Masyarakat pengguna jasa parkir
Kebanyakan masyarakat Sidoarjo tidak setuju dengan adanya parkir berlangganan ini, karena masyarakat sering dirugikan. Mulai banyaknya pungutan liar yag dilakukan oleh jukir resmi, keamanan kendaraan tidak terjamin, kurangnya titik parkir.[20]
                  b.            Jukir
Sering adanya laporan tentang pungutan liar yang dilakukan oleh jukir tidak terlepas dari keluhan para jukir. Antara lain Seringnya gaji yang telat, Gaji jukir yang minim yaitu sebesar Rp. 700.000,-/bulan, hal ini jauh dari KHL yang ditetapkan oleh Gubernur Jatim, serta mahalnya karcis yang harus dibeli oleh jukir di Dishub, yaitu Rp. 100,000,- /bendel untuk Motor dan Rp. 150,000,-/bendel untuk Mobil, sehingga jukir tidak punya untung dalam penjualan karcis..Selain itu para jukir harus setor kepada pemilik lahan. Ucap jukir Depan CB Phone Sidoarjo [21]
                   c.            Pengawas Dishub
Tidak hanya masyarakat dan jukir yang mempunyai keluhan, begitupun juga petugas pengawas parkir berlangggananpun juga mempunyai kendala, yakni minimnya gaji petugas pengawas, kurangnya fasilitas tempat yang digunakan untuk melakukan pengawasan, mulai dari tidak adanya toilet, tendanya kurang layak, karena kalau hujan pasti petugas terkena percikan air hujan, selain itu juga sering bingung dengan jukir resmi, karena jukir resmi seringkali menyerahkan rompinya ke jukir tidak resmi.[22]
C.    Kinerja Fungsional Dalam menjalankan kebijakan
Suatu kebijakan terdapat penilaian kinerja fungsional yang bertujuan untuk mendapatkan suatu kerjasama antara stakeholder yang terkait dalam sutau kebijakan. Adapun kinerja fungsional terdiri dari:
a)      Fungsi Representasi
Kinerja representasi merujuk pada hakikat keberadaan DPRD sebagai wakil rakyat dalam kehidupan suprastruktur politik sosial ekonomi budaya. Untuk menjalankan fungsi representasi, setidaknya terdapat tiga mekanisme yang dijalankan DPRD Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Pertama, representasi aktif. Mekanisme yang ditempuh untuk menjalankan fungsi ini, yaitu melalui kunjungan lapangan. Atas inisiatif sendiri, DPRD terjun ke masyarakat untuk mengetahui persoalan dan kondisi masyarakat. DPRD bisa berdialog langsung dengan masyarakat, atau terlibat dalam diskusi dengan komponen-komponen masyarakat. Mekanisme ini sering pula dikaburkan dengan fungsi sosialisasi yang seharusnya dijalankan pemda, tidak jarang DPRD terjun ke masyarakat dalam kerangka soskalisasi program pembangunan. Kedua, representasi pasif. Kebalikan dari mekanisme pertama, DPRD bersifat pasif menunggu laporan atau pengaduan dari masyarakat mengenai suatu maslalah atau aspirasi tertentu. Pengaduan yang diterima DPRD selama ini, lebih banyak yang berasal dari kelompok masyarakat atau datang secara berkelompok. DPRD kemudian menindaklanjutinya dengan mengkoordinasikan masalah bersama instansi terkait di Pemda, atau melakukan fasilitas tersendiri. Ketiga representasi reaktif. DPRD akan terjun ke masyarakat bila muncul maslah, terutama karena pembirtaan media massa. Selain itu juga dengan memanggil eksekutif untuk melakukan hearing mengenai persoalan yang muncul di masyarakat. Atau DPRD bersedia diundang masyarakat untuk membahas suatu masalah.[23] 
b)     Fungsi Legislasi
Dalam teori klasik tentang pemisahan kekuasaan, Legislasi adalah fungsi utama lembaga legislatif yang membedakannya dengan lembaga eksekutif. Legislasi dipahami sebagai fungsi lembaga yang memproduk aturan. Sementara lembaga eksekutif berfungsi menjalankan atau mengeksekusi aturan. Teori yang membuat garis tegas antara fungsi lembaga eksekutif dan legislatif, dalam praktiknya tidak berjalan. Karena di banyak negara yang terjadi justru eksekutif lebih dominan dalam memproduk aturan. Sementara lembaga legislative cenderung pasif, membahas dan menyetujui aturan yang diajukan eksekutif atas nama rakyat. Kalau memang ada inisiatif, jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan inisiatif yang berasal dari eksekutif. Begitupun dalam praktiknya di Indonesia, Pemerintah lebih dominan berinisiatif untuk mengajukan undang-undang dibanding DPR. Di daerah pun ternyata tidak jauh berbeda, pemerintah daerah lebih dominan dibanding DPRD.[24]
c)      Fungsi Kontrol
Kinerja kontrol berkaitan dengan fungsi pengawasan DPRD terhadap jalannya pemerintahan beserta program-programnya yang diemban eksekutif. Baik dalam prosedur maupun hasil capaian yang telah dikerjakan. Sebagai pemegang mandat dari rakyat, maka DPRD adalah wakil rakyat dalam mengawasi kinerja eksekutif. Sehingga wajar kiranya bila pengawasan itu dilakukan atas nama rakyat. Pentingnya pengawasan dilakukan DPRD, terutama ditujukan pada upaya agar kinerja eksekutif berdampak pada kemajuan daerah, kemajuan masyarakat. Pengawasan bukan saja dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap distorsi kinerja eksekutif, melainkan untuk “mengawal” agar program dan rencana yang sudah dicanangkan dengan mengatasnamakan publik, bisa diwujudkan dengan baik. Untuk itu dibutuhkan inisiatif-inisiatif agar DPRD bisa menjalankan fungsi ini. Pengawasan efektif, tidak sekedar merupakan manifestasi “kecerdasan” DPRD untuk menyiasati mekanisme pengawasan hingga menjadi proporsional, dan mampu mengawal mandat yang diberikan rakyat.[25]
Kinerja Pengawasan menjadi begitu penting dan berarti, bila sijalnkan dengan cara-cara yang proporsional dan tidak menimbulkan berbagai spekulasi tentang hubungan antara DPRD dengan Eksekutif. Kinerja pengawasaan bukan ditujukan untuk menunjuk kekuasaan DPRD atas eksekutif, tetapi untuk kemitraaan yang tetap menjujung tinggi nilai-nilai keadilan, profesional, obyektif, dan kejujuran.
D.    Mekanisme Pemungutan Retribusi Parkir.
Retribusi ditetapkan dengan peraturan daerah, dan Peraturan Daerah tentang retribusi tersebut tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang retribusi sekurang-kurangnya mengatur tentang ketentuan mengenai:
a)      Nama,obyek, dan Subyek retribusi;
b)      Golongan retribusi;
c)      Cara mengukur tingkat pengguna jasa yang bersangkutan;
d)     Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
e)      Struktur dan besarnya tarif rettribusi;
f)        Wilayah pemungutan;
g)      Tata cara pemungutan;
h)      Sanksi administrrasi;
i)        Tatacara penagihan;
j)        Tanggal mulai berlakunya.[26]
Pemungutan retribusi parkir di Sidoarjo menurut Peraturan Bupati No. 35 tahun 2012 tentang Pelayanan Parkir Oleh Pemerintah kabupaten Sidoarjo pasal 6 menjelaskan bahwa, Pemungutan retribusi pelayanan parkir dilakukan :
a.       Secara langsung, dan
b.      Secara berlangganan
Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara langsung sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf a dipungut oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Sidoarjo, pemungutan retribusi baik parkir tepi jalan umum, parkir ditempat khusus, maupun parkir insidentil dilaksanakan oleh petugas parkir dengan menggunakan bukti pembayaran berupa media pungut. Media Pungut hanya berlaku satu kali parkir dan sesudahnya tidakdapat dipakai lagi.
Sedangkan Pemungutan retribusi pelayanan parkir secara berlanggganan sebagaimana dimaksud pasal 6 (1) huruf b dilakukan dengan cara kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kepolisian Resort Sidoarjo, adapun pemungutan retribusi dilakukan terhadap kendaraan bermotor yang terdaftar pada Kantor Bersama SAMSAT Sidoarjo pada saat perpanjangan STNK/BBNKB. Setiap pemilik kendaraan bermotor yang telah membayar retribusi parkir berlangganan diberi tanda bukti pelunasan yang telah diporporasi dan bernomor seri serta stiker. Retribusi parkir  berlangganan berlaku untuk pelayanan parkir tepi jalan umum dan parkir di tepat khusus parkir milik Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.


BAB III 
UPAYA HUKUM KONSUMEN TERHADAP KERUGIAN JASA PARKIR BERLANGGANAN DI SIDOARJO
A.    Upaya Hukum Bagi Konsumen/Masyarakat Pengguna Jasa Parkir di Sidoarjo yang Dirugikan.
Undang-undang No 8 tahun 1999 memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan perundangan-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumenini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa.[27]
Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
a)      Masalah prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
b)      Masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
c)      Yang akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action).[28]
Konsumen dalam hal ini pengguna jasa parkir seringkali mengalami kerugian dalam segi pelayanan, adanya unsur paksa dalam menarik uang parkir meskipun konsumen tiap tahun sudah bayar biaya retribusi parkir berlangganan. Setiap konsumen mempunyai hak menuntut ganti rugi, bagi konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya hukum sebagai berikut :
                  a.            Mengajukan gugatan secara kelompok (class action)
Gugatan kelompok atau lebih lazim disebut class action atau class representative adalah pranata hukum yang berasal dari sistem common law. Walaupun demikian, banyak negara penganut civil law, prinsip tersebut diadopsi, termasuk dalam UUPK Indonesia.
Gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dengan anggota kelompok yang dimaksud.[29]
UUPK mengakomodasikan gugatan kelompok (class action) ini dalam pasal 46 ayat (1) huruf (b). Ketentuan ini menyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Penjelasan dari rumusan itu menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adanya bukti transaksi.
Prinsip class action berbeda dengan legal standing. Umumnya class action wajib memenuhi empat syarat sebagaimana juga ditetapkan dalam pasal 23 US Federal of Civil Procedure meliputi[30] :
1)      Numerosity (jumlah orang yang mengajukan harus sedemikian banyaknya).Persyaratan ini mengharuskan kelas diwakili(class members) sedemikian besar jumlanya karena apabila gugatan satu demi satu(individual) sangat tidak praktis dan tidak efisian.
2)      Commonality (kesamaan) artinya harus ada kesamaan fakta maupun question of law antara pihak yang mewakili dan pihak yang diwakili.
3)      Typicality , artinya tuntutan (bagi penggugat)  maupun pembelaan (bagi tergugat) pada class action haruslah sejenis
4)      Adequacy of representation (kelayakan perwakilan), artinya mewajibkan perwakilan kelas (class representatives) untuk menjamin secara jujur dan adil serta melindungi kepentingan pihak yang mewakili.
Dengan memperhatikan ketidaklengkapan ketentuan Undang-undang No. 8 tahun 1999 yang mengatur persoalan class action maka perlu di ikuti dengan peraturan pelaksanaannya lebih lanjut. Pengaturan tentang persyaratan agar dapat melakukan gugatan dengan class action perlu diperjelas, karena tidak semu sengketan konsumen dapat diajukan dengan class action, demikian juga  ketentuan mengenai proses pemeriksaan permulaan untuk menentukan apakah dapat diperiksa dengan class action atau tidak. Akan tetapi, tekanan yang penting disini adalah penerapan asas bahwa peradilan dilakukan secara murah, cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan dapat dilakukan dalam pemeriksaan sengketa konsumen, karena pada umumnya konsumen berada dalam posisi serba terbatas, baik dilihat dari segi pengetahuan, keuangan, dan waktu. Oleh karena itu, prosedur class action diharapkan dapat membantu terwujudnya asas tersebut.[31]
                 b.            Mengajukan gugatan secara Legal Standing
Selain gugatan kelompok (class action), UUPK juga menerima kemungkinan proses beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yang memiliki legal standing. Hak yang dimiliki lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM (NGO’s Standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam pasal 46 ayat(1) huruf c: Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memnuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya oraganisasi tersebut untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Dalam definisi yang diberikan oleh pasal 1 angka 9 UUPK, jelas ada keinginan agar setiap lembaga perlindungan konsumen swadday masyarakat (LPKSM) itu diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan pengakuan itu, ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses beracara di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing LPKSM.
Secara administratif ada konsekuensi logis karena pendaftaran dan pengakuan itu dengan sendirinya dicabut oleh piak yang memberikan, dalam hal pemerintah, misalnya dengan alasan LPKSM menyimpang dari fungsi dan tugas semula. Kewenangan demikian di satu sisi berguna untuk mencegah munculnya LPKSM “gadungan” yang berpotensi merugikan konsumen, tetapi disisi lain juga membuka kesempatan munculnya perlakuan diskriminatif Pemerintah terhadap LPKSM tertentu yang kritis.
Untuk memiliki Legal standing tersebut LPKSM yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkaa yang diajukan. Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dan NGO’s legal standing.[32]
                  c.            Small Claim Court
Konsep Small Claim Court merupakan suatu usaha untuk membantu konsumen dalam mendapatkan perlindunga hukum dengan menrapkan asas hukum berperkara murah, cepat, sederhana, dan biaya ringan. Hal ini disebabkan oleh small claim court adalah semacam peradilan kilat, dengan hakim tunggal, tanpa ada keharusan menggunakan pengacara, berbiaya ringan, dan tidak ada upaya banding. Sengketa pada umumnya mempunyai nilai nominal kecil, sehingga tidak praktis apabila gugatan untuk memita ganti rugi dilakukan melalui peradilan umum. Peradilan umum selain mahal juga membutuhkan waktu yang relatif lam dan prosedurnya cukup rumit. Adanya smart claim court diharapakan mampu memberikan akses kepada konsumen untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha, meskipun nominal yang disengketakan sangat kecil.
      Probematika yang muncul adalah apakah UU No. 8 tahun 1999 mengatur mekanisme penyelesaian sengketa konsumen melalui pemeriksaan semacam small claim court, UU ini memberikan jalan penyelesaian sengketa konsumen melalui dua cara berdasarkan pilihan para pihak yang bersengketa, yaitu (1) melalui peradilan umum, dan (2) penyelesaian dilura pengadilan.Apabila memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dan ternyata tidak berhasil, maka penggugat dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.[33]
B.     Prinsip Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Jasa Parkir Berlangganan Di Sidoarjo.
1        Prinsip-Prinsip Tanggung jawab
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.[34]
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan sebagai berikut:
Tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawab  yang ditentukan oleh perilaku produsen/penyedia jasa. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen/penyedia jasa yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen/penyedia jasa, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen/penyedia jasa diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
a)        Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
b)        Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
c)        Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen). Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
1)      Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada  produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
2)       Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
3)      Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
4)      Prinsip Praduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbalik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.
b)      Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi
Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
                                 a.          Pembatasan waktu gugatan.
                                b.          Persyaratan pemberitahuan.
                                 c.          Kemungkinan adanya bantahan.
                                d.          Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.
c)      Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
                  a.          Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
                  b.          Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab.
2        Product Liability
Secara Historis, Product liability lahir karena tidak ada keseimbangan tanggung  jawab antara Produsen/penyedia jasa dan konsumen. Dengan Lembaga ini produsen/penyedia jasa yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen/penyedia jasa harus berhati-hati dengan produknya, karena tanggung jawab dalam product liability ini menganut prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).[35]
C.      Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Pelayanan Parkir Berlangganan Di Sidoarjo.
 a.            penyelesaian sengketa di peradilan umum (Litigasi)
Sengketa konsumen di sini dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu sengketa/perkara ke depan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang bersengketa dalam hal ini penggugat baik itu produsen ataupun konsumen. Pengadilan yang memberikan pemecahan atas hukum perdata yang tidak dapat bekerja di antara para pihak secara sukarela. Dalam hubungan ini Satjipto Rahardjo mengatakan:
“Pembicaraan mengenai bekerjanya hukum dalam hubungan dengan proses peradilan secara konversional melibatkan pembicaraan tentang kekuasaan kehakiman, prosedur beperkara dan sebagainya”.[36]
 Istilah “prosedur beperkara” didahului dengan pendaftaran surat gugatan di kepaniteraan perkara perdata di pengadilan negeri. Sebelumnya, itu berarti surat gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti dan cermat. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyatakan :
(1)   Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.[37]
Pada klasifikasi yang pertama, yaitu seorang konsumen (atau ahli warisnya) tentu saja tidak ada yang  istimewa dilihat dari ketentuan beracara. Hal yang menarik adalah pada klasifikasi kedua dan seterusnya.[38]
Pada klasifikasi kedua, gugatan dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama. Ketentuan ini harus dibedakan dengna gugatan dengan mewakilkan kepada orang lain seperti diatur dalam Pasal 123 ayat (1) HIR. Penjelasan Pasal 46 menyebutkan gugatan kelompok ini dengan istilah class action. Kemudian klasifikasi ketiga adalah lembaga swadaya masyarakat. Di sini dipakai  istilah “lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Klasifikasi ketiga ini  berkaitan dengan legal standing. LSM yang bergerak di lapangan perlindungan konsumen ini boleh jadi terus bertambah banyak. Menjadi pertanyaan apakah semua dari mereka berhak menklaim sebagai wakil konsumen? Persyaratan yang diajukan oleh Pasal 46 ayat (1) huruf (c) masih terlalu umum. Untuk itu, pertimbangan agar dilakukan semacam “akreditasi” tampaknya perlu dijajaki. Syaratnya tentu saja badan yang mengakreditasi itu harus independen. Sayangnya, Pasal 1 angka (9) dan Pasal 44 ayat (1) UUPK menutup kemungkinan itu dengan menyatakan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat terdaftar dan diakui oleh pemerintah. BPKN yang sebenarnya dapat mengambil alih tugas demikian, juga tidak dimungkinkan menurut rincian tugas Pasal 34 UUPK. Klasifikasi penggugat dalam sengketa konsumen yang keempat atau terakhir adalah Pemerintah dan atau instansi terkait. Mereka baru akan menggugat pelaku usaha jika ada kerugian materi yang besar dan atau korban yang tidak sedikit. Namun, tidak disebutkan apakah gugatan demikian masih diperlukan jika ada gugatan dari para konsumen, atau dapat dilakukan bersamaan waktunya dengan gugatan dari pihak konsumen yang termasuk klasifikasi-klasifikasi satu sampai tiga. Tampaknya, hal-hal itu tetap dibiarkan tanpa penjelasan karena menurut ketentuan Pasal 46 ayat (3), masalah itu masih diperlukan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sebelum menyusun gugatan, kuasa hukum terlebih dahulu menerima pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan hukum mewakili kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat kuasa yang secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu diberikan (surat kuasa khusus). Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian kuasa dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Kedua, mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk di sini surat-surat dan saksi-saksi. Hasil penelitian/pengujian laboratorium untuk komoditas tertentu, seperti makanan/minuman, otomotif/kendaraan, air minum  (PAM), dan listrik (PLN), sebenarnya dapat membantu mengungkap/        membuktikan dalil-dalil gugatan konsumen. Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali sejauh mungkin hal-hal apa saja yang sudah dilakukakn konsumen, misalnya menyurati produsen, wawancara dengan media massa/elektronik atau menulis surat pembaca di media massa. Ini penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari produsen. Keempat, menyangkut kompetensi/kewenangan mengadili secara absolute (atribusi kekuasaan kehakiman di antara peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan tata usah  Negara) maupun kewenangan mengadili secara relatif (di antara peradilan sejenis, mana yang berwenang mengadili). Kompetensi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan sejenis untuk mengadili tergugat sesuai ketentuan Pasal 118 HIR. Prinsip yang berlaku, yaitu gugatan diajukan pada pengadilan negeri di daerah hukum tergugat berdiam (berdomisili atau jika domisilinya tidak diketahui, diajukan di tempat tinggal tergugat sebetulnya (actor sequitur forum rei). Tempat tinggal seseorang dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya (KTP)-nya.
 b.            Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (non litigasi)
Asas hukum yang berbunyi point d’interet, point d action (tiada kepentingan, maka tidak ada aksi) menggambarkan bahwa gugatan diajukan untuk mempertahankan hak (kepentingan) orang atau badan hukum yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga oleh satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri, yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa. Kompetensi ini didasarkan pada kualitas mereka sebagai persona standi in judicio, yang memberikan kewenangan dalam hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam suatu proses perkara perdata, baik sebagai pihak yang menggugat maupun sebagai pihak yang digugat.
                Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/diferrence) antara para pihak yang terlibat, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif, yaitu karena ingin memangkasa birokrasi perkara, biaya, dan waktu, sehingga relatif lebih singkat dengan biaya relatif lebih ringan, lebih dapat menjaga harmoni sosial (social harmony) dengan mengembangkan budaya musyawarah dan budaya nonkonfrontatif. Melalui jalan tersebut diharapakan tidak terjadi prinsip lose win akan tetapi win-win, para pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan lose face.
            Di indonesia, ADR mempunyai daya tarik khusus karena keserasiannya dengan sistem sosial budaya tradisional berdasarkan musyawarah mufakat. Beberapa hal dibawah merupakan keuntungan yang sering muncul dalam ADR, yaitu :
a)      Sifat kesukarelaan dalam proses
b)      Prosedur yang cepat;
-        Keputusan yang non yudisial
-        Kontrol tentang kebutuhan organisasi
-        Prosedur rahasia
-        Fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah
-        Hemat waktu
-        Pemeliharaan hubungan
-        Tingginya kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan
-        Kontrol dan lebih mudah memperlihatkan hasil
-        Keputusan bertahan sepanjang waktu.
Selanjutnya mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Kemudian berdasarkan isi pasal 1 ayat 10 Undang-undang No 30 tahun 1999, maka alternatif penyelesaian sengketa dapat dialkukan dengan cara sebagai berikut: 
1)      Konsultasi
Pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” anatra suatu pihak tertentu yang disebut dengan “klien” dengan pihak yang merupakan “konsultan” yang memberikan pendapat kepada klien tersebut untuk memnuhi keperluan dan kebutuhan kliennya. Pendapat tersebut tidak mengikat, artinya klien bebas untuk menerima pendapatnya atau tidak.
2)      Negoisasi
Negoisasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk meemperoleh kesepakatan diantra mereka. Negoisasi menurut Roger Fisher dan William Ury adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Negoisasi digunakan apabila komunikasi antarpihak yang bersengketa masih terjalin dengan baik, masih ada rasa saling percaya dan ada keinginan untuk cepat mendapatkan kesepakatan dan menruskan hubungan baik.
3)      Mediasi
Dalam pasal 6 ayat (3) UU No.30 tahun 1999 dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasiha ahli maupun mediator. Mediasi merupakan negoisasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kespakatan perjanjian dengan memuaskan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan sengketa.
4)      Konsiliasi
Konsiliasi tidak jauh berbeda dengan pedamaian, sebagaimana diatur dalam pasal 1851 KUHPerdata. Konsiliasi sebagai suatu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan adalah suatu tindakan atau proses untuk mencapai perdamaian diluar pengadilan. Untuk mencegah dilaksanakannya proses peradilan (litigasi), melainkan juga dalam setiap tingkat peradilan yang sedang berlangsung, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dalam konsiliasi pihak ketiga mengupayakan pertemuan diantara pihak yang berselisih untuk mengupayakan perdamaian. Pihak ketiga selaku konsiliator tidak harus duduk bersama dalam perundingan dengan para pihak yang sedang bersengketa. Ketentuan Konsiliasi dapat dilihat dalam ketentuan UU No.30 tahun 1999 pasal 1 ayat (10) dan alinea 9 dalam penjelasan umum. Hasil dari kesepakatan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa konsiliasi harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani secara bersama oleh para pihak yang bersengketa, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri. Kesepakatan tertulis dari konsiliasi ini bersifat final dan mengikat para pihak.

5)      Penilaian Ahli.
Yang dimaksud dengan penilaian ahli adalah pendapat hukum oleh lembaga arbitrase. Dalam suatu bentuk kelembagaan, arbitrase ternyata tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setia pihak yang melakukannya.




BAB IV
PENUTUP
Sebagai bahan akhir dari penilitian skripsi ini, maka sampailah pada penulisan untuk menyampaikan beberapa pokok kesimpulan dan saran sebagaimana terurai dibawah ini.
A.    KESIMPULAN
1        Pelaksanaan parkir berlangganan di Kabupaten Sidoarjo menimbulkan gejolak dibeberapa golongan stakeholder, terutama masyarakat, merupakan akibat dari adanya tarik menarik kepentingan antara stakeholder yang terkait dengan retribusi parkir berlangganan. Dalam pelaksanaan Perda No 2 tahun 2012 tentang penyelenggaraan Parkir di Sidoarjo mengalami banyak kendala dan beberapa keluhan dari para pihak yang turut serta dalam perda tersebut. Dan yang paling utama merasakan dampak negatif dari perda tersebut adalah konsumen pengguna jasa atau disebut masyarakat yang ada di Sidoarjo khususnya yang mempunyai kendaraan bermotor. Konsumen diwajibkan membayar retribusi akan tetapi dalam pelayanan parkir seringkali konsumen dirugikan.
2        Dalam hubungan dengan perlindungan konsumen sering terjadi adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan oleh suatu produk atau jasa. Dalam kaitan ini, setidak-tidaknya ada tiga masalah yang sering menjadi bahan diskusi, yakni:
1)      Masalah prinsip ganti rugi yang didalamnya mencakup sistem pembuktian;
2)      Masalah lembaga tempat penyelesaian sengketa, termasuk didalamnya peranan lembaga-lembaga diluar pengadilan; dan
3)      Yang akhir-akhir ini sering dibicarakan adalah cara mengajukan tuntutan hak (gugatan) apakah harus selalu individual atau boleh berkelompok (class/representative action)
B.     SARAN
1        Pemerintah kabupaten Sidoarjo selaku pembuat kebijakan parkir berlangganan yang mempunyai kewenangan dibidang pelayanan, dalam hal pelayanan pemkab sidoarjo bekerjasama dengan dishub sidoarjo, perlu untuk melakukan pembenahan dalam sistem parkir di Sidoarjo. Khususnya dalam pelayanan yang selama ini dikeluhkan para konsumen (masyarakat).
Diharapkan Dishub sebagai perwakilan pemkab Sidoarjo dalam pelaksanaan parkir berlangganan melakukan tindakan sebagai berikut:
                                 a.          Menindak tegas terhadap jukir yang nakal,
                                b.           Melakukan evaluasi dalam perekrutan jukir,
                                 c.           Memberikan pengawasan dan pengecekan yang lebih ketat terhadap petugas jukir resmi,
                                d.          Mengkaji ulang  gaji para jukir.
                                 e.          Memberikan fasilitas yang layak kepada pengawas
                                 f.          Memperluas kawasan parkir berlangganan, khususnya di daerah perbatasan.
                                g.          Memperbaiki sistem perparkiran yang selama ini jukir tidak memberikan bukti karcis resmi bagi pengendara motor yang berlangganan, supaya memberikan bukti karcis yang bertujuan untuk bukti apabila terjadi kehilangan kendaraan bermotor.
                                h.          Sering melakukan sosialisasi ke setiap kelurahan/Desa yang bertujuan supaya masyarakat antusias dan mendukung program parkir berlangganan
2        Dalam penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya pemkab membuat suatu tim untuk menangani keluhan konsumen dalam bentuk badan pengaduan masyarakat. Upaya penyelesaian sengketa konsumen melalui upaya yang persuasif lebih efektif daripada melakukan upaya-upaya hukum, mengingat upaya hukum memerlukan proses yang ribet, biaya mahal, tenaga dan waktu yang cukup lama.